Hari Ke Sembilan

 Hai, Sudah hari ke sembilan. Rencananya saya akan menulis setiap hari guna meredakan perasaan saya. Ternyata cukup sulit untuk konsisten. Hingga akhirnya saya baru sempat menulis kembali di hari kesembilan.

Kali ini saya akan membahas mengenai perasaan saya yang merasa sangat direndahkan ketika berkomunikasi dengan seseorang. Pernah kah kalian menemui seorang yang bisa tiba-tiba meledak-ledak emosinya padahal sedang tidak menghadapi persoalan yang menyinggung. Tiba-tiba tak disangka-sangka kata kata kotor terucap dari mulutnya. Padahal sebelumnya hanya bercakap biasa tanpa ada intensi untuk memancing emosi ataupun menyinggung. 

Saya terheran-heran mengapa ia bisa dengan mudahnya mengucapkan kata-kata kotor tersebut, sangat mudah baginya merendahkan orang lain. Saya diingatkan seorang kawan bahwa bukan kali ini saja dia berlaku demikian, di masa lampau pun saya pernah mengeluhkan yang sama dari dirinya yang mudah sekali mengeluarkan kata-kata tidak pantas. Mungkin saat itu saya berpikir bahwa bisa mengubahnya pelan-pelan menuju yang lebih baik. Namun saya mulai sadar bahwa mengubah karakter seseorang merupakan hal yang tidak mudah. 

Saya sudah banyak memaklumi kekurangannya tanpa menghujatnya sedikitpun. Ia kurang dalam bersosialisasi, ia tidak pandai membangun komunikasi dengan orang asing, bahkan ia tidak ingat tanda tangannya sendiri. Semua itu bisa saya terima tanpa menghinanya macam-macam. Saya merasa rendah sekali dikatakan goblok oleh orang yang bahkan tidak ingat tanda tangannya sendiri, tidak mampu menghadapi dosen pembimbing, dan hampir menyerah karena tidak bisa menghadapi dosen pembimbingnya. 

Ia beberapa kali kena semprot dosennya karena kesalahan penggunaan kata dalam pesan singkatnya. Menurutnya ia sudah benar, menurutnya dosennya saja yang terlalu galak. Tapi jika ditelaah memang ada kesalahan penggunaan kata yang ia gunakan yang menyebabkan kesalahan tafsir di pihak penerima pesan. Sebagai orang yang ingin ia berkembang tentu saya mengatakan hal tersebut. Namun ia tak terima dikoreksi seperti itu, ia tetap menganggap dirinya sudah benar. 

Mungkin ini yang dinamakan kecerdasan emosional atau EQ. Saya merasa lelah batin menghadapi orang yang memiliki EQ rendah. Tidak bisa menerima saran atau kritik dari orang lain. Saran pun ia anggap sebagai caci maki terhadapnya. Selalu menganggap ia pusat alam semesta dan menuntut alam semesta harus sesuai apa yang ia inginkan. Pada awalnya saya bersikukuh bisa mengubahnya namun pada akhirnya saya menyerah. Setidaknya saya sudah berusaha semaksimal mungkin dan semampu yang saya bisa. 

Semoga ia bisa segera sadar atau bertemu orang yang bisa membuatnya sadar bahwa bukan hanya dia yang hidup di dunia ini. Ada 7 miliar manusia lain dengan watak berbeda-beda. Tidak semua manusia bisa dan mau untuk menerima dirinya yang sangat egois itu. Berhentilah menuntut orang untuk menerimamu. Berubahlah supaya kau diterima oleh society. 

Comments

Post a Comment

Terima kasih udah baca postingan gue sob!
Alangkah lebih baik kalau kalian meluangkan waktu sedikit untuk berkomen di postingan gue ini :D
Karen satu komen dari kalian sangat berarti bagi gue :D

Thanks!

Popular posts from this blog

Hari Ketiga

Mencoba Menulis (day 1)